Dibentuk Jadi Pemimpin, Tapi Dilarang Bicara? Pramuka Dihadapkan pada Dilema Nilai

Sebuah kutipan yang viral di media sosial memunculkan diskusi penting di kalangan Gerakan Pramuka: “Kami dididik jadi pemimpin, tapi disuruh diam saat lihat kesalahan senior. Ini pendidikan, atau pelatihan tunduk?” Pernyataan ini menyoroti benturan antara nilai keberanian bersuara dan etika dalam organisasi berjenjang seperti Pramuka.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa pendidikan karakter tidak hanya soal teori, tetapi juga tentang membangun ruang aman untuk menyampaikan pandangan secara konstruktif. Lalu, apa yang bisa dilakukan dari berbagai posisi dalam Gerakan Pramuka?

Bagi anggota muda (Penegak dan Pandega), penting untuk mulai memahami bagaimana menyampaikan pendapat dengan bahasa yang santun dan fokus pada solusi. Mereka bisa mendorong ruang diskusi reguler di satuan masing-masing, membuat forum internal atau diskusi terbuka yang terstruktur. Keberanian tetap diperlukan, namun perlu dibarengi dengan ketepatan cara dan waktu.

Bagi anggota dewasa (pembina, pelatih, dan senior), ada tanggung jawab untuk membuka ruang partisipatif. Membangun budaya mendengarkan tanpa defensif menjadi kunci. Evaluasi program dan pendekatan pembinaan bisa dilakukan secara periodik, termasuk refleksi atas praktik senioritas agar tidak mengarah pada sikap anti-kritik.

Bagi fungsionaris organisasi (Dewan Kerja, Pusdik, Kwartir), perlu ada kebijakan yang menampung mekanisme pelaporan dan masukan dari anggota muda tanpa rasa takut. Termasuk menghadirkan pelatihan tentang komunikasi dua arah, kepemimpinan inklusif, serta penguatan nilai-nilai partisipatif dalam manajemen organisasi.

Dinamika ini menjadi sinyal bahwa Gerakan Pramuka tengah menghadapi tuntutan adaptasi. Ketika generasi muda mulai menyuarakan hal-hal yang dirasakannya, maka tugas seluruh ekosistem adalah menjadikan suara itu bukan ancaman—melainkan potensi perubahan yang justru memperkuat gerakan.

Post a Comment

Previous Post Next Post